SERTIFIKASI ATAU KUALIFIKASI?Guru dapat disebut sebagai pendidik yang baik jika dapat memenuhi kualifikasi tertentu dalam bidang pengajaran, lebih dari pada sekedar sertifikasi. Perlu disadari bahwa sertifikasi tidak dapat membuat seorang guru lebih bermutu, atau juga tidak dapat menunjukkan bahwa ia mampu mendidik dengan baik.
Antara sertifikasi atau kualifikasi bukanlah persoalan pilihan, tetapi soal bagaimana perspektif kita tentang apa yang lebih perlu dimiliki oleh seorang guru. Memang dengan adanya sertifikasi yang mensyaratkan kualifikasi tertentu guru akan lebih terpacu untuk mengembangkan ilmu pendidikannnya, namun perlu diwaspadai, kita jangan sampai terjebak pada pencapaian gelar saja. Perlu dipikirkan juga secara jelas dan terpilah-pilah mana sarana dan mana tujuannya.
Dengan kata lain, menjadi guru lebih didasarkan pada perpaduan antara pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, terutama mengenai bagaimana ia dapat mengajarkan materi pengetahuan sehingga dapat diterima baik oleh para murid. Selain itu, seorang guru hendaknya terbuka atau mempunyai kemampuan berdialog dengan para muridnya. Karena suasana dialogallah yang memungkinkan sebuah proses pengajaran dapat membawa para murid memahami materi pelajaran secara lebih luas dan mendalam. Di situlah di perlukan adanya bobot kualifikasi seorang guru.
Kualifikasi merupakan semacam pendidikan khusus untuk memperoleh suatu keahlian. Keahlian itu diperlukan untuk melakukan sesuatu, misalnya untuk menduduki suatu jabatan tertentu, dalam hal ini untuk memperoleh sertifikasi agar diakui sebagai guru. Kualifikasi yang perlu dimiliki seorang pendidik adalah berpengetauan luas sesuai dengan bidang keahliannya, berkarakter kuat sebagai pendidik bukan sekedar pemindah pengetahuan, kritis terhadap kondisi diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, dan mempunyai kekuatan menghadapi tantangan untuk selalu eksplorasi pengetahuan lebih lanjut atau terus mau belajar. Untuk itulah UU Guru dan Dosen seyogyanya bertujuan pada kualifikasi masing-masing pendidik, sedangkan sarana yang dipakai untuk memacunya adalah sertifikasi.
Mengapa perlu ada kualifikasi? Memang perlu, karena bagaimanapun suatu sekolah, para murid, dan suatu ilmu pengetahuan tidak akan terolah dan dikembangkan dengan baik jika tidak ada sosok guru (tentu saja yang berkualitas) yang berperan di dalamnya. Peran guru dalam hal ini cukup sentral dan menjadi semacam ‘jembatan’ yang dapat memediasi antara ilmu pengetahuan dan peserta didik. Dengan adanya kualifikasi yang dimiliki seorang guru semua kegiatan itu akan dapat berjalan sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan, yaitu terciptanya manusia yang berpengetahuan luas, dewasa, bebas, dan kritis.
Yang perlu diwaspadai pula bahwa selama ini yang menjadi titik sasaran dari program sertifikasi ini adalah tawaran yang menggiurkan mengenai tambahan insentif. Hal itu tidak dapat dipungkiri memang dapat memacu ‘adrenalin’ para guru untuk memperoleh sertifikasi, tetapi apakah mereka benar-benar mengejar sertifikasi dengan maksud mengembangkan kualitasnya atau hanya demi sertifikasi yang ujung-ujungnya adalah tunjungan profesi tersebut. Maka, di sisi lain program itu dapat menjebak, dan dalam jangka panjang berpengaruh buruk pada proses pendidikan itu sendiri. Ketidakmurnian motivasi semacam itu sangat berbahaya karena hanya digunakan sebagai kedok untuk memperlihatkan seolah-olah kondisi para pendidik di Indonesia berkualitas, dan dapat sangat merugikan karena pelaksanaan dalam jangka panjang akan tidak membuahkan mutu pendidikan yang lebih baik dari sekarang.
Lalu sebenarnya bagaimana proses pendidikan, untuk mencapai tujuan yang diharapkan itu, dapat terlaksana dengan baik? Untuk itu perlu adanya pendidikan yang memadai bagi guru (Prioritaskan Pendidikan Guru, Kompas, 25/01/2006). Pendidikan yang dimaksud bukan demi sebuah sertifikasi semata tetapi demi kualitas pengajarannya sendiri. Mengapa? Karena dengan adanya kualitas yang memadai ia dapat menjadi seorang mediator, yang dapat menjembatani antara ilmu pengetahuan dan para murid, yang dapat diandalkan di dalam kelasnya sehingga dapat mengakomodasi setiap usaha penggalian pengetahuan dari murid-muridnya.
Tenaga seorang pendidik adalah sebuah pencurahan pemikiran dan per-HATI-an yang mampu ‘menghadirkan dunia’ di dalam ruangan kelas. Segala informasi yang berasal dari ‘dunia seberang’ dapat menjadi perhatian dan bahan kajian bagi para murid untuk memahami dunia sekitarnya yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh bagi mereka. Selain itu, guru juga dapat menghadirkan sebuah pengalaman yang dapat menjadi refleksi bersama sehingga dapat memberikan pencerahan bagi para murid. Dapat juga ruangan kelas menjadi arena diskusi tentang berbagai permasalahan sosial sehingga dalam kadar tertentu dapat memunculkan keprihatinan bersama. Dari situ, terjadilah sebuah komunikasi (hubungan dialogal) antara peserta didik dan dunia sekitarnya. Penting ditekankan hal itu agar murid tidak tercerabut dari realitas sosialnya sehingga tidak menimbulkan jarak antara para murid dan lingkungan sosialnya. Di sinilah terjadi bahwa guru sebagai agen perubahan mampu mempromosikan kesalingpengertian dan toleransi (Jacques Delors, Learning The Treasure Within, 1996). Kompetensi seorang guru seperti terurai di atas memang berat, namun beban tanggung jawab tersebut bukan sesuatu yang diada-adakan. Hal itu diuraikan hanya untuk menegaskan betapa kualitas guru sangat perlu ditekankan dan diseriusi untuk diwujudkan.
Dalam praksis pengajaran, untuk menghindari adanya kemandegan gagasan atau inert (dalam istilah Whitehead) dari para murid, seorang guru mesti memberanikan diri berperan sebagai fasilitator untuk membantu menyelesaikan kesulitan-kesulitan mereka secara tuntas—dalam critical pedagogy disebut problem posing. Maka tuntutan suatu kualitas tertentu—bukan atas dasar ijazah—sangat substansial dimiliki oleh para pendidik. Kualifikasi itu tentunya mengarah pada tipe umum seorang guru, yaitu sikap kritis, tekun (tahan banting) dan terbuka, yang dalam arti tertentu hal itu dapat menjamin mutu dari sebuah proses pembelajaran yang berlangsung di dalam sebuah ruangan kelas.
Sekali lagi, untuk mencapai kualifikasi tersebut maka pendidikan para guru mesti diperhatikan dengan lebih serius dan menjadi prioritas penting. Selain itu, seorang guru harus mendapatkan tuntutan agar tetap kompeten dan profesional dibidangnya, serta penuh dedikasi kepada para peserta didik sebagai bentuk tanggung jawabnya. Perlu disadari juga bahwa mengajar adalah sebuah ‘seni dan sains’. Maka yang menjadi titik penting dari proses belajar adalah terbangunnya relasi antara pendidik dan peserta didik sebagai bagaian dari seni berkomunikasi.
Uraian ini bukanlah sebuah ungkapan ketidaksetujuan terhadap adanya program sertifikasi guru tapi lebih sebuah usaha penyadaran bersama tentang sesuatu yang lebih esensial dari sertifikasi, yaitu kualitas pendidik. Karena dapat dipastikan bahwa kualitas guru dapat mempengaruhi kualitas pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan guru tetap menjadi prioritas penting lebih dari sekedar pengakuan lewat selembar kertas sertifikat.
(
Bayu Marsetyawan, Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta)