Saturday, March 31, 2007

Untuk SS (2)

II

Kapan kau menduga bahwa sebuah kepalsuan akan menjadi gairah kehidupan di sekelilingmu.

Bahkan ketidakpastian justru menjadi teman pengiring langkahmu.

Jarang sekali tampak raut muka masam tertuju pada dunia.

Retakkah dirinya kala itu terjadi?

Tidak, kala itu hanyalah sebuah bumbu manis dalam sekejap perasaan yang tak terduga.

Kau berangkat dari tanah kebijaksanaan dengan langkah pasti merobohkan kepenatan manusia.

Kapan kembali?

Inilah saatnya menunjukkan bahwa kepulanganmu bukan karena keputusasaan.

Dengan menggenggam bara pengharapan kau kembali dengan menerobos palang kekerdilan.

Derita hanyalah sisi gersang yang harus terus disirami.

Bukan, kau bukan meninggalkan kebijaksanaanmu, aku tahu sahabat, kau sudah membawa sesuatu dalam kantong yang baru itu.

Kau jengguk lagi dunia yang pernah kau singgahi, dan kau merasakan tidak akan ada bedanya.

Namun, bukan berarti bahwa keduanya sama.

Keduanya menunjuk pada jalan kerinduan yang menyala-nyala.

Lalu, apakah itu suatu pilihan?

Bukan juga, karena kesadaran dan kehendak lebih mendominasi.

Bersama-sama dengan keputusan mereka memulai suatu perjalanan hidup yang satu dan jenuh.

Pergi bukan berarti meratapi matinya kebijaksanaan.

Tahukah bahwa ia telah menemukan sesuatu?

Yang indah dan manis?

Yang menarik dan menantang?

Yang menjanjikan kemajuan?

Yang pasti dan pilihan?

Yang menggairahkan hidup?

Yang …………

bersambung....................

Thursday, March 29, 2007

Untuk SS (1)

Teman (yang) Baik

I
Kau……bukan sekedar temanku yang baik.
Kau sahabatku, kau saudaraku, kau salah satu inspirasiku.
Kau sang penakluk diri penjelajah kerinduan yang kurang tersapa.
Pelan-pelan kau merasuk ke celah-celah kesunyian untuk meraih impian.
Ada kalanya hidupmu sendu, adakalanya segalanya menjadi tak berarti.
Ketika impian menjadi sampah bahkan kau sendiri seperti layu mengering.
Luka yang terus mengeras membungkam jati diri sekalipun tidak akan merusak kilaumu.
Semangat yang tiada henti menyala membisikan kata yang tak habis-habisnya menghembuskan kesejukan.
Pulang dengan kedekatan hati untuk mengisahkan sebuah kenangan yang selalu sentosa.
Lihatlah ketetapan dan ketegaran hatinya!
Seolah-olah bintang-bintang pun tak mampu bersaing.
Kekuatannya tak menyilaukan tetapi mendesak halus menuju kalbu.
Penampilan bukanlah hambatan, segalanya ia jadikan berkat buatan tanganNya.
Siapapun enggan pergi saat bercengkerama dan berandai kata.
Siapapun tak sempat berpaling dari hatinya yang mengisyaratkan kesempurnaan perjuangan.
Gusar bukan sisi yang harus dilawan karena gusar itulah jembatan keterbukaan.
Bagaimana kau melihat sekeliling dengan begitu rapuh, namun serentak perkasa saat melangkah maju untuk menghadapi.
Segala kerinduan, sekali lagi, menjadi lagu yang menyaring kata-kata kalbu.
Buat apa menyembunyikan kerinduan kalau ia selalu sempat menduga pancarannya telah membuahkan dusta.
Jalan kerinduan itulah yang menuntunnya menuju surga.

......................bersambung

Tuesday, March 27, 2007

Transformasi Diri

Judul di atas sepertinya terlalu tinggi (muluk-muluk) untuk dijadikan sebutan terhadap apa yang telah terjadi di dalam diri saya. Namun, saya sendiri merasakan ada suatu perubahan yang cukup berarti tentang pemahaman terhadap diri sendiri, terhadap sesama dan Tuhan, setelah pengalaman pergulatan yang panjang. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa saya mengalami perubahan yang cukup signifikan sebagai seorang manusia. Saya memang menyadari ada hal-hal yang kurang terpahami dan hanya tersimpan sebagai sebuah misteri yang hanya tersingkap secara pelan dengan masuk dan menjalani prosesnya. Kondisi ini dipengaruhi oleh upaya serius saya dalam menanggapi tawaran rahmat dari Allah dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan bukan dimengerti seperti adanya revolusi diri yang tampak secara mencolok namun lebih menyentuh pada batas-batas prinsip dan menembus keresahan akan ke-absurb-an hidup saya.
Pada mulanya ada keseriusan untuk menanggapi realitas diri (perasaan tidak menerima keadaan diri dan lingkungan) yang sudah tidak dapat saya lawan dengan suatu pemberontakan diri yang paling dahsyat sekalipun. Tindakan itu membawa pada transformasi karena sebelumnya mengalami sebuah kerinduan akan keagungan hidup tetapi tertutupi oleh kekerasan hati. Keseriusan menjadi pilihan yang tidak dapat ditolak lagi karena selain itu merupakan bagian dari resolusi saya untuk perbaikan dan kemajuan diri, hal itu juga dimaksudkan untuk lebih berusaha bertanggung jawab dan sadar bahwa hidup di dalam panggilan ini bukan main-main. Selain itu, saya tidak mau melewatkan hari-hari dengan kekosongan yang tidak berarti. Saya ingin mengisi keseharian hidup dengan permenungan yang memberi arti dan bermakna.
Akhirnya, hasil yang mengagumkan saya rasakan sebagai suatu anugerah yang tidak terkira dalam hidup ini. Mengalami sebuah transformasi yang sungguh-sungguh saya sadari adalah hal yang luar biasa. Saya merasa menjadi manusia baru. Saya benar-benar melihat segalanya baru seperti kondisi ketika baru keluar dari kegelapan dan melihat cahaya terang memancar ke arah saya, segalanya menjadi menyenangkan dan indah. Ketakutan tidak dapat menguasai saya lagi karena saya benar-benar sadar dan merasakan kekuatan yang luar biasa dari dalam untuk mengendalikan diri saya secara lebih baik.

Sunday, March 25, 2007

Mengumpulkan kembali pengalaman

Hari ini,
tenang,
mengalir,
menikmati,
penuh arti,
terasa,
bersemangat,
berani,
bingung,
sunyi,
indah,
kerja keras,
konsentrasi,
teliti,
lelah,
merdeka,
dekat,
mengerti,
berjuang,
hidup,
.......teruskan!

Friday, March 23, 2007

Lawan!!

Patah Tumbuh, Hilang Berganti

Sesak dadaku saat mengetahui bahwa Kekuasaan
dibangun di atas penderitaan berjuta-juta ummat manusia
Mengetahui bahwa Keadilan
berdiri atas jilatan nafsu serakah
Kemakmuran dalih keinginan yang terlihat didepan mata
Martabat didirikan atas penyembahan dan eksploitasi terhadap sesama manusia
Keteraturan adalah bagian dari pembungkaman terhadap kebebasan yang dilanggengkan
Bahkan imajinasi pun sudah diatur kehadirannya
Maka, masihkah ada ruang pembeda antara yang nyata dan khayal
Yang salah dalam kebenaran dan yang benar dalam sebuah kesalahan
Masihkah ada jalan keluar untuk berkata tidak
Apakah perjuangan sebuah kekuatan hampa
Perut penuh kekosongan
Hati terbalut kafan
Perasaan telah diatur oleh pikiran
Nyali hanya sebatas panjang lidah
Berpikir lalu bertindak adalah jalan keluar yang realistis
Berdua lebih baik dari sendiri dengan kesadaran
Sekumpulan lebih kuat dari sebagian demi solidaritas
Berpikir, Bertindak,
Mengorganisir untuk Bergerak,
Melawan untuk kebebasan memperjuangkan cita-cita mulia
"bebas dari penindasan"
Le Roi Est Mort, Vive Le Loi

Posted by dhant on 20th May 2006

Thursday, March 22, 2007

Spiritual and Life

KEHIDUPAN

Engkau dibisiki bahwa hidup adalah kegelapan
Dan dengan penuh ketakutan
Engkau sebarkan apa yang telah dituturkan padamu
penuh kebimbangan

Kuwartakan padamu bahwa hidup adalah kegelapan
jika tidak diselimuti oleh kehendak
Dan segala kehendak akan buta bila tidak diselimuti pengetahuan
Dan segala macam pengetahuan akan kosong
bila tidak diiringi kerja
Dan segala kerja hanyalah kehampaan
kecuali disertai cinta

Maka bila engkau bekerja dengan cinta
Engkau sesungguhnya tengah menambatkan dirimu
Dengan wujudmu sendiri, wujud manusia lain
Dan wujud Tuhan.

:+: Khalil Gibran :+:

Wednesday, March 21, 2007

Education

SERTIFIKASI ATAU KUALIFIKASI?

Guru dapat disebut sebagai pendidik yang baik jika dapat memenuhi kualifikasi tertentu dalam bidang pengajaran, lebih dari pada sekedar sertifikasi. Perlu disadari bahwa sertifikasi tidak dapat membuat seorang guru lebih bermutu, atau juga tidak dapat menunjukkan bahwa ia mampu mendidik dengan baik.
Antara sertifikasi atau kualifikasi bukanlah persoalan pilihan, tetapi soal bagaimana perspektif kita tentang apa yang lebih perlu dimiliki oleh seorang guru. Memang dengan adanya sertifikasi yang mensyaratkan kualifikasi tertentu guru akan lebih terpacu untuk mengembangkan ilmu pendidikannnya, namun perlu diwaspadai, kita jangan sampai terjebak pada pencapaian gelar saja. Perlu dipikirkan juga secara jelas dan terpilah-pilah mana sarana dan mana tujuannya.
Dengan kata lain, menjadi guru lebih didasarkan pada perpaduan antara pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, terutama mengenai bagaimana ia dapat mengajarkan materi pengetahuan sehingga dapat diterima baik oleh para murid. Selain itu, seorang guru hendaknya terbuka atau mempunyai kemampuan berdialog dengan para muridnya. Karena suasana dialogallah yang memungkinkan sebuah proses pengajaran dapat membawa para murid memahami materi pelajaran secara lebih luas dan mendalam. Di situlah di perlukan adanya bobot kualifikasi seorang guru.
Kualifikasi merupakan semacam pendidikan khusus untuk memperoleh suatu keahlian. Keahlian itu diperlukan untuk melakukan sesuatu, misalnya untuk menduduki suatu jabatan tertentu, dalam hal ini untuk memperoleh sertifikasi agar diakui sebagai guru. Kualifikasi yang perlu dimiliki seorang pendidik adalah berpengetauan luas sesuai dengan bidang keahliannya, berkarakter kuat sebagai pendidik bukan sekedar pemindah pengetahuan, kritis terhadap kondisi diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, dan mempunyai kekuatan menghadapi tantangan untuk selalu eksplorasi pengetahuan lebih lanjut atau terus mau belajar. Untuk itulah UU Guru dan Dosen seyogyanya bertujuan pada kualifikasi masing-masing pendidik, sedangkan sarana yang dipakai untuk memacunya adalah sertifikasi.
Mengapa perlu ada kualifikasi? Memang perlu, karena bagaimanapun suatu sekolah, para murid, dan suatu ilmu pengetahuan tidak akan terolah dan dikembangkan dengan baik jika tidak ada sosok guru (tentu saja yang berkualitas) yang berperan di dalamnya. Peran guru dalam hal ini cukup sentral dan menjadi semacam ‘jembatan’ yang dapat memediasi antara ilmu pengetahuan dan peserta didik. Dengan adanya kualifikasi yang dimiliki seorang guru semua kegiatan itu akan dapat berjalan sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan, yaitu terciptanya manusia yang berpengetahuan luas, dewasa, bebas, dan kritis.
Yang perlu diwaspadai pula bahwa selama ini yang menjadi titik sasaran dari program sertifikasi ini adalah tawaran yang menggiurkan mengenai tambahan insentif. Hal itu tidak dapat dipungkiri memang dapat memacu ‘adrenalin’ para guru untuk memperoleh sertifikasi, tetapi apakah mereka benar-benar mengejar sertifikasi dengan maksud mengembangkan kualitasnya atau hanya demi sertifikasi yang ujung-ujungnya adalah tunjungan profesi tersebut. Maka, di sisi lain program itu dapat menjebak, dan dalam jangka panjang berpengaruh buruk pada proses pendidikan itu sendiri. Ketidakmurnian motivasi semacam itu sangat berbahaya karena hanya digunakan sebagai kedok untuk memperlihatkan seolah-olah kondisi para pendidik di Indonesia berkualitas, dan dapat sangat merugikan karena pelaksanaan dalam jangka panjang akan tidak membuahkan mutu pendidikan yang lebih baik dari sekarang.
Lalu sebenarnya bagaimana proses pendidikan, untuk mencapai tujuan yang diharapkan itu, dapat terlaksana dengan baik? Untuk itu perlu adanya pendidikan yang memadai bagi guru (Prioritaskan Pendidikan Guru, Kompas, 25/01/2006). Pendidikan yang dimaksud bukan demi sebuah sertifikasi semata tetapi demi kualitas pengajarannya sendiri. Mengapa? Karena dengan adanya kualitas yang memadai ia dapat menjadi seorang mediator, yang dapat menjembatani antara ilmu pengetahuan dan para murid, yang dapat diandalkan di dalam kelasnya sehingga dapat mengakomodasi setiap usaha penggalian pengetahuan dari murid-muridnya.
Tenaga seorang pendidik adalah sebuah pencurahan pemikiran dan per-HATI-an yang mampu ‘menghadirkan dunia’ di dalam ruangan kelas. Segala informasi yang berasal dari ‘dunia seberang’ dapat menjadi perhatian dan bahan kajian bagi para murid untuk memahami dunia sekitarnya yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh bagi mereka. Selain itu, guru juga dapat menghadirkan sebuah pengalaman yang dapat menjadi refleksi bersama sehingga dapat memberikan pencerahan bagi para murid. Dapat juga ruangan kelas menjadi arena diskusi tentang berbagai permasalahan sosial sehingga dalam kadar tertentu dapat memunculkan keprihatinan bersama. Dari situ, terjadilah sebuah komunikasi (hubungan dialogal) antara peserta didik dan dunia sekitarnya. Penting ditekankan hal itu agar murid tidak tercerabut dari realitas sosialnya sehingga tidak menimbulkan jarak antara para murid dan lingkungan sosialnya. Di sinilah terjadi bahwa guru sebagai agen perubahan mampu mempromosikan kesalingpengertian dan toleransi (Jacques Delors, Learning The Treasure Within, 1996). Kompetensi seorang guru seperti terurai di atas memang berat, namun beban tanggung jawab tersebut bukan sesuatu yang diada-adakan. Hal itu diuraikan hanya untuk menegaskan betapa kualitas guru sangat perlu ditekankan dan diseriusi untuk diwujudkan.
Dalam praksis pengajaran, untuk menghindari adanya kemandegan gagasan atau inert (dalam istilah Whitehead) dari para murid, seorang guru mesti memberanikan diri berperan sebagai fasilitator untuk membantu menyelesaikan kesulitan-kesulitan mereka secara tuntas—dalam critical pedagogy disebut problem posing. Maka tuntutan suatu kualitas tertentu—bukan atas dasar ijazah—sangat substansial dimiliki oleh para pendidik. Kualifikasi itu tentunya mengarah pada tipe umum seorang guru, yaitu sikap kritis, tekun (tahan banting) dan terbuka, yang dalam arti tertentu hal itu dapat menjamin mutu dari sebuah proses pembelajaran yang berlangsung di dalam sebuah ruangan kelas.
Sekali lagi, untuk mencapai kualifikasi tersebut maka pendidikan para guru mesti diperhatikan dengan lebih serius dan menjadi prioritas penting. Selain itu, seorang guru harus mendapatkan tuntutan agar tetap kompeten dan profesional dibidangnya, serta penuh dedikasi kepada para peserta didik sebagai bentuk tanggung jawabnya. Perlu disadari juga bahwa mengajar adalah sebuah ‘seni dan sains’. Maka yang menjadi titik penting dari proses belajar adalah terbangunnya relasi antara pendidik dan peserta didik sebagai bagaian dari seni berkomunikasi.
Uraian ini bukanlah sebuah ungkapan ketidaksetujuan terhadap adanya program sertifikasi guru tapi lebih sebuah usaha penyadaran bersama tentang sesuatu yang lebih esensial dari sertifikasi, yaitu kualitas pendidik. Karena dapat dipastikan bahwa kualitas guru dapat mempengaruhi kualitas pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan guru tetap menjadi prioritas penting lebih dari sekedar pengakuan lewat selembar kertas sertifikat.

(Bayu Marsetyawan, Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta)

Everything about Human Being

Manusia adalah tubuhnya tetapi serentak pula mempunyai tubuhnya. Tubuh manusia merupakan motif untuk ambiguitas, tetapi serentak pula melambangkan kedalaman dan kesempurnaannya.

Tesis ini terdiri dari pernyataan:
1.1 Manusia adalah tubuhnya tetapi serentak pula mempunyai tubuhnya
1.2 Tubuh manusia merupakan motif utama ambiguitas tetapi serentak pula melambangkan kedalaman dan kesempurnaannya.
 Terkait dengan fungsi pokok ketubuhan yakni menduniakan manusia, membuat manusia menjadi pengada di dunia. Karena tubuhnya manusia menjadi bagian dari dunia. Karena tubuhnya, ia mengakui bahwa dirinya terdiri dari unsur-unsur dunia, mengalami nasib yang sama, mengikuti hukum yang sama seperti dunia. Hal ini bisa dipahami mengingat manusia terdiri dari realitas fisik dan material. Dan realitas fisik dan material manusia terwujud dalam dimensi tubuh manusia.
 Gagasan filsuf eksistensialis (Heidegger, Sartre, Marleau-Ponty). Mereka menunjukkan bahwa ketubuhan membuat manusia berada dalam dunia benda dan membuat manusia berpartisipasi dalam pembatasan spasial (ruang). Manusia tertanam dalam suatu situasi spasial tertentu dan harus menempati suatu tempat tertentu atau tak berada di tempat manapun juga. Dia hanya dapat berada dalam tempat tertentu. Keluar dari ruang berarti meninggalkan tubuhnya sendiri, desinkarnasi, berhenti berada di dunia.
 Ketubuhan membuat manusia "ada di dunia". Ketubuhan menentukan posisi tertentu dalam ruang dan ketubuhan mengondisikan manusia sedemikian rupa sehingga ia memiliki hubungan ontis hanya dengan kenyataan yang dekat secara spasial dengannya.
 Dengan kata lain tubuh manusia adalah dimensi dari "ada" manusia yang memungkinkan "aku" manusia berada di dunia. Tubuh manusia adalah "aku" manusia yang disituasikan, diadaptasikan, dan dijelmakan. Tubuh manusia adalah bagian dari "ada" manusia yang secara esensial termasuk dirinya, meskipun diarahkan kepada dunia.
 Pernyataan ini berkaitan dengan fungsi ekonomis dan kepemilikan dari tubuh yang diungkap dengan kata mempunyai atau "to have" dan "avoir" (Gabriel Marcel). Aku ada dengan memiliki tubuh. Bila aku kehilangan tubuh, eksistensiku juga hilang termasuk yang kumiliki.
 Hanya apabila ada hubungan dengan tubuhku dapatlah aku menuntutnya sebagai milikku. Dapat dikatakan orang menguasai dan memiliki dengan dan melalui tubuhnya.
 Kita memandang benda-benda sebagai perpanjangan diri kita dalam bentuk: alat, objek, konsumsi dll. Identifikasi dengan tubuh terjadi juga melalui berbagai perpanjangan tersebut. Misalnya, Naik mobil adalah perpanjangan tubuh. Bila terjadi kecelakaan dikatakan dia menabrak aku.
 Dikatakan demikian karena manusia dapat menyembunyikan dirinya di belakang wajahnya. Manusia dapat memasang topeng dan memainkan peranan yang tidak sebenarnya, yang bukan miliknya.
 Lambang kesempurnaan tubuh manusia adalah posisi vertikalnya. Inilah yang membedakan tubuh manusia dengan tubuh hewan. Posisi vertikal ini menuntut pembentukan tubuh yang sesuai tidak hanya menyangkut setiap bagian tubuh dalam arti fungsional, tetapi juga keseluruhan tubuh dan bagian-bagiannya. Konstruksi tubuh manusia memberikan kemungkinan untuk posisi tegak. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dipelajari oleh bayi adalah berdiri dan berjalan. Posisi vertikal dan penyesuaian untuk berdiri tegak adalah suatu tindakan bebas manusia.
 Posisi vertikal adalah ciri khas manusia. Posisi ini merupakan suatu yang hakiki. Posisi tegak merupakan lambang kehidupan, keselamatan, kebangkitan dan kekuatan. Oleh karena itu, posisi vertikal mempunyai pengertian-pengertian yang bersifat simbolis. Di banyak kota dan negara dibangun monumen yang tinggi sebagai simbolisme tersebut.

Tuesday, March 20, 2007

National Figure

ROMO MANGUN
Tribute to a multi-talented national figure

***
I met him the first and last time three days before he past away. That was a very special experience in my life; because I could see the figure I had never met. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya was born on 6 May 1929 in Ambarawa, Central Java, from Catholic parents. At the age of sixteen, during the revolution for independence from the Dutch, he joined the Student Army. The troops’ callousness towards the villagers shocked him. In 1950, after hearing a speech by Major Isman about the harmful effects of the revolution on civilians, he decided to repay his debt by serving the people as a priest.

After studying theology and architecture, Romo (Father) Mangun started his public life in Yogyakarta in the late 1960s. He became a parish priest, lecturer in architecture, practicing architect, essayist, columnist, novelist, human rights activist and social worker. For six years he lived among the poor along the Code River in Yogyakarta, and built a Community Centre for them.

His contribution to this country as a good citizen is participating in general elections and also being active politically in organizations. This comparison below is about the story of Javanese leader (in the traditional story of Wayang) who can be a pattern for modern leader that Romo Mangun was criticized. Although the government claims the elections to be public, the first election in 1976 was clearly going to proceed in its exclusive Indonesian style. On the face of it, this orderly queue of Javanese voters is a good example of communal response to the new order’s implementation of “democratic” values. However, the shape of the queue recalls that of the headdress of two characters from the shadow puppet theater: Bima and his son Gatutkaca. Both were associated in Romo Mangun’s mind with Sukarno. Sukarno saw in Gatutkaca a heroic role model for a modern Indonesian nationalist. The cartoon thus makes an implicit comparison between the early years of independence and 1976. The voters’ closed eyes suggest that, this time, they are blindly obeying orders from above, instead of realizing their potential for shaping democracy. Through this picture, Romo Mangun encouraged ordinary people to become once again politically aware and active.

He also concerned about an educational program for lay people, especially basic education for children. Romo Mangun believed that education was a crucial pre-condition for Indonesian progress. Its aim should be to promote discernment and creativity in individuals. He strongly objected to teaching methods which crushed spirits instead. Most of all, he insisted it was for everyone, not just the elite. In 1993 he founded an experimental school for disadvantaged children in Yogyakarta under the research group Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar. He often said: “When I die, let me die as a primary school teacher.”

Romo Mangun looked back to the 1945 revolution as a golden age of Indonesian nationalism. Among his favorite heroes were former President Sukarno and former Prime Minister Syahrir. They are represented in a picture as the Javanese shadow puppets Bima and Yudhistira. According to Romo Mangun, Sukarno resembled Bima because of his tenacity of purpose, his flamboyance and his raw style of expression in the low Javanese language or ‘ngoko’.
Syahrir resembled the more refined Yudhistira because he used knowledge and diplomacy rather than brute force to solve national problems. Romo Mangun himself hated violence. He admired both heroes for their selfless commitment to the national cause.

He died on 10 February 1999, at 01.55 p.m. beside his friend, Mohammad Sobary, while he was attending conference “Meningkatkan Peran Buku Dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru” in Le Meridien Hotel at Jendral Sudirman Street, Jakarta. Medically, Romo Mangun had a heart condition and was already using a heart pacer. But, as a believer, his death was as beautiful as he would have wanted, which was hope to died in the midst of his friends.